top of page

"Salah Tangkap" atau "Tumbal"? Terdakwa Mafia Pupuk Jeneponto 2021 Divonis Bebas, Siapa Mafia Pupuk Sebenarnya?

  • Gambar penulis: Ridwan Umar
    Ridwan Umar
  • 2 hari yang lalu
  • 3 menit membaca

ree

MEDIAGEMPAINDONESIA.COM | Makassar, 6 September 2025 – Babak akhir drama hukum kasus dugaan korupsi pupuk bersubsidi di Kabupaten Jeneponto tahun 2021 telah mencapai puncaknya. Amrina Rahman, satu-satunya terdakwa yang dijerat dalam kasus ini, resmi divonis bebas oleh Mahkamah Agung (MA) setelah permohonan kasasi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) ditolak.


Putusan ini tidak hanya menguatkan vonis bebas dari Pengadilan Tipikor Makassar, tetapi juga membuka kotak pandora mengenai kejanggalan dalam proses penyidikan sejak awal, meninggalkan pertanyaan besar: Jika bukan Amrina, lalu siapa mafia pupuk yang sebenarnya?


Penyelidikan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Jeneponto awalnya menargetkan tiga distributor utama pupuk bersubsidi di wilayah tersebut: CV. Anjas, PUSKUD Sulsel, dan Koperasi Perdagangan Indonesia (KPI) yang diwakili oleh Amrina Rahman. Ketiganya diperiksa secara intensif.


Namun, secara mengejutkan, proses penyidikan seolah berhenti pada dua distributor lainnya. Tanpa keterangan lebih lanjut kepada publik, Kejari Jeneponto mengerucutkan penyelidikan dan hanya menetapkan Amrina Rahman dari KPI sebagai tersangka tunggal. Hal ini menimbulkan spekulasi di masyarakat: mengapa hanya satu yang dijerat sementara yang lain seolah hilang dari radar penyidikan?


Kejari Jeneponto sempat menggelar konferensi pers, dengan yakin mengumumkan telah menemukan bukti kuat bahwa Amrina Rahman menjual pupuk bersubsidi ke luar wilayah alokasi dan memanipulasi data. Berbekal audit dari Inspektorat yang menyebut kerugian negara Rp6 miliar, JPU membawa kasus ini ke pengadilan.


Namun, semua tuduhan itu runtuh di persidangan. Majelis Hakim, dari tingkat pertama hingga kasasi, menyimpulkan:

1. Tuduhan penjualan ke luar daerah tidak terbukti.

2. Tidak ada bukti manipulasi data.

3. Kewenangan alokasi bukan pada distributor, melainkan pada Dinas Pertanian melalui RDKK, sehingga terdakwa tidak bisa dituduh menyalahgunakan wewenang.

4. Kerugian negara Rp6 miliar dinyatakan tidak berdasar.


Atas dasar itu, Amrina Rahman dibebaskan dari segala dakwaan setelah mendekam di tahanan selama 10 bulan.


Sahardi, Ketua Bidang Hukum LSM GEMPA INDONESIA, menyebut kasus ini sarat dengan kejanggalan yang mengarah pada dugaan permainan.


ree

"Ada jurang yang menganga antara narasi yang dibangun Kejaksaan di media dengan fakta hukum di pengadilan. Ini sangat berbahaya!, putusan bebas ini adalah cerminan dari lemahnya profesionalisme aparat penegak hukum khususnya Kejaksaan Negeri Jeneponto dalam hal ini."


"Bagaimana mungkin klaim sekuat penjualan ke luar daerah yang diumumkan ke publik tidak bisa dibuktikan di sidang? Ini menunjukkan JPU gagal membangun konstruksi hukum yang kuat. Dakwaan terkesan dipaksakan tanpa bukti yang kokoh, bertentangan dengan prinsip due process of law."


"Angka kerugian negara Rp6 miliar dari Inspektorat ternyata menjadi angka imajiner di mata hakim. Hal ini melanggar prinsip audit yang obyektif sebagaimana diatur dalam Pasal 32 UU No. 15/2004. Jika tidak diperbaiki, lembaga ini berpotensi menjadi alat kriminalisasi terhadap seseorang."


"Ini bukan sekadar kelalaian, ini adalah sebuah anomali penegakan hukum," tegas Sahardi. "Publik berhak bertanya, apa hasil pemeriksaan terhadap CV. Anjas dan PUSKUD? Mengapa Kejari Jeneponto diam seribu bahasa mengenai dua distributor lainnya dan hanya fokus pada satu target? Ketika target tunggal itu divonis bebas, kecurigaan bahwa Amrina Rahman hanya dijadikan tumbal menjadi sangat beralasan. Muncullah dugaan indikasi adanya tebang pilih atau bahkan "permainan" untuk melindungi pihak lain? Diamnya Kejaksaan justru memperkuat spekulasi tersebut."


Lebih lanjut, Sahardi menegaskan pihaknya akan menindaklanjuti kelalaian ini dengan pelaporan resmi ke Jamwas dan Komisi Kejaksaan, serta tidak menutup kemungkinan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bila ditemukan indikasi serius penyalahgunaan wewenang (Pasal 2 ayat (1) UU No. 30/2002 jo. UU No. 19/2019 tentang KPK).


Sahardi juga menyoroti tragedi yang dialami Amrina Rahman. "Kita tidak hanya bicara angka atau pasal hukum semata. Kita juga bicara tentang seorang ibu yang direnggut dari keluarganya. Selama 10 bulan, Amrina harus meninggalkan suami dan tiga anaknya yang masih membutuhkan kasih sayangnya. Siapa yang bisa mengganti waktu yang hilang itu? Siapa yang bisa menyembuhkan luka batin seorang anak yang bertanya di mana ibunya? Ini bukan sekadar kerugian materiil, ini adalah kehancuran immateriil yang tak ternilai harganya. Negara, melalui aparatnya, telah gagal memberikan keadilan dan justru menjadi sumber penderitaan. Harus ada pertanggungjawaban atas kelalaian fatal dan kejanggalan penyidikan ini," tutup Sahardi.



*RED

bottom of page