top of page

Masyarakat Adat Gugat Ketua Adat Puto Palasa di PN Bulukumba, Atas Dugaan Pengambilalihan Tanah Kelolaan Puluhan Tahun

  • Gambar penulis: Ridwan Umar
    Ridwan Umar
  • 35false08 GMT+0000 (Coordinated Universal Time)
  • 3 menit membaca

Diperbarui: 04false48 GMT+0000 (Coordinated Universal Time)

ree

Masyarakat Adat Gugat Ketua Adat Puto Palasa di PN Bulukumba, Atas Dugaan Pengambilalihan Tanah Kelolaan Puluhan Tahun



Bulukumba, Sulsel — Konflik internal mencuat di tubuh masyarakat adat Kajang. Sejumlah warga masyarakat adat Ahli Waris Baco Bin Lambeng secara resmi menggugat Ketua Adat Puto Palasa ke Pengadilan Negeri Bulukumba, menyusul dugaan upaya sepihak untuk mengambil alih tanah adat yang telah dikelola turun-temurun selama lebih dari 50 tahun oleh warga penggarap.



Dalam hal ini Puto baco bin Lambeng telah menguasai lahan tersebut sejak puluhan tahun ,bukti nyata adalah lelaki Baco bin Lambeng ,telah membayar pajak bumi sejak tahun 2000 hingga saat ini .berdasarkan putusan Mahkamah konstitusi(MK) nomor 35/puu - X /2012 bahwa tanah adat bukan tanah negara atau hutan adat bukan hutan negara tetapi tanah adat yang di kuasai oleh masyarakat bersama dengan ketua adat bukan milik pribadi tetapi milik bersama .



Tanah yang disengketakan tersebut diketahui telah lama dikelola, dimanfaatkan, dan bahkan didaftarkan secara administratif di pemerintah desa, sebagai tanah garapan masyarakat adat. Namun belakangan, warga mengaku terkejut dengan adanya klaim pengambilalihan oleh pihak Ketua Adat Puto Palasa tanpa melalui musyawarah adat maupun persetujuan masyarakat pengelola.



ree


“Tanah itu bukan tanah negara, bukan pula milik pribadi ketua adat. Itu tanah adat yang dikelola masyarakat Adat sejak puluhan tahun. Tiba-tiba mau diambil alih begitu saja,” ungkap Mappi Bin Baco salah satu perwakilan penggugat.



Dalam keterangannya Ketua Lembaga Aliansi Indonesia ,Badan penelitian aset negara  Kaharuddin  memberi tanggapan beberapa permasalahan tentang tanah adat khususnya di kajang .



Kaharuddin menegaskan bahwa tanah adat bukan tanah negara dan bukan pula milik perseorangan, termasuk pemangku adat. Oleh karena itu, menurutnya, tidak ada pihak yang boleh mengambil alih tanah masyarakat adat secara sepihak, terlebih tanpa musyawarah dan dasar hukum yang jelas.



“Kalau tanah itu sudah dikelola masyarakat adat selama puluhan tahun dan diakui secara administratif di desa, maka pengambilalihan sepihak oleh siapa pun, termasuk ketua adat, patut diduga melanggar hukum dan nilai adat itu sendiri,” tegas Ketua Lembaga Aliansi Indonesia.Badan Penelitian Aset Negara

Tanah Adat Bukan Tanah Negara



Masyarakat adat menegaskan bahwa tanah adat memiliki kedudukan hukum tersendiri, yang diakui oleh konstitusi. Oleh karena itu, pemerintah tidak boleh melakukan intervensi sepihak, apalagi memfasilitasi pengalihan hak atas tanah adat tanpa persetujuan masyarakat adat yang menguasainya secara nyata.



Pengambilalihan tanah yang telah dikelola masyarakat selama puluhan tahun dinilai mencederai nilai-nilai adat itu sendiri serta bertentangan dengan prinsip keadilan sosial.



Diduga Langgar Prinsip Adat dan Hukum Nasional Langkah Ketua Adat Puto palasa tersebut dinilai bertentangan dengan sejumlah aturan, di antaranya:



1. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yang menegaskan pengakuan dan penghormatan negara terhadap masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.



2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, yang menyatakan bahwa tanah adat bukan tanah negara.



3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA), yang mengakui hak ulayat sepanjang masih hidup dan dijalankan masyarakat adat.



4. Prinsip hukum adat Kajang, yang mengedepankan musyawarah, keadilan, dan perlindungan terhadap hak masyarakat adat, bukan keputusan sepihak oleh pemangku adat.



Dugaan pelanggaran asas non-diskriminatif dan penyalahgunaan kewenangan adat, jika pengambilalihan dilakukan tanpa dasar hukum adat yang sah.



Preseden Berbahaya bagi Masyarakat Adat

Warga menilai, bila tindakan tersebut dibiarkan, maka akan menjadi preseden buruk bagi perlindungan tanah adat di Bulukumba, bahkan di Sulawesi Selatan. Sengketa ini menunjukkan bahwa konflik agraria tidak hanya terjadi antara masyarakat dan negara, tetapi juga dapat muncul akibat penyalahgunaan otoritas adat.



Kini, masyarakat adat berharap PN Bulukumba dapat memberikan putusan yang adil, objektif, dan berpihak pada hak-hak masyarakat adat yang telah lama menguasai dan mengelola tanah tersebut secara sah.


( Mgi/Tim )



 
 
bottom of page