LSM Gempa Indonesia: Reformasi Polri Harus Bongkar Penyimpangan, Bukan Sekadar Formalitas
- Ridwan Umar
- 2 hari yang lalu
- 2 menit membaca

LSM Gempa Indonesia: Reformasi Polri Harus Bongkar Penyimpangan, Bukan Sekadar Formalitas
Makassar – Ketua DPP LSM Gempa Indonesia, Amiruddin SH Karaeng Tinggi, menyoroti serius peran dan fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang sejak awal sebenarnya sudah diamanatkan dalam UUD 1945. Menurutnya, kepolisian adalah alat negara untuk menjaga keamanan, ketertiban, melindungi rakyat, dan menegakkan hukum.
“Kalau kita kembali ke Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, jelas bahwa Polri adalah alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melindungi, mengayomi, melayani, serta menegakkan hukum. Jadi bukan alat penguasa, bukan pula tameng untuk kepentingan segelintir orang,” tegas Amiruddin.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Dari berbagai informasi, termasuk di media sosial, masyarakat sering melihat praktik aparat kepolisian yang diduga melanggar hak asasi manusia, merekayasa kasus, tidak berpihak pada kebenaran, serta cenderung menindak rakyat kecil namun justru menjadi beking bagi orang besar atau pejabat berkuasa.
“Inilah yang menurunkan marwah Polri. Polisi yang seharusnya mengayomi rakyat, malah menakuti. Yang seharusnya menegakkan hukum, malah diduga bermain dengan hukum. Ini berbahaya bagi negara hukum kita,” lanjutnya.
Terkait langkah Presiden Prabowo Subianto membentuk tim khusus untuk mereformasi Polri, Amiruddin menyebut hal itu bukan tanpa alasan.
“Kalau Polri masih berjalan sesuai konstitusi, tentu tidak perlu ada tim reformasi. Fakta bahwa tim itu dibentuk justru menjadi pengakuan bahwa ada masalah serius di tubuh kepolisian,” katanya.
Amiruddin menegaskan bahwa polisi yang melakukan penyimpangan tidak bisa hanya disanksi secara etik atau disiplin internal, melainkan harus diproses secara pidana sebagaimana warga negara biasa.
Ia merinci dasar hukum dan sanksi yang berlaku:
Pasal 421 KUHP: Pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan untuk memaksa atau menindas orang lain, diancam pidana penjara hingga 2 tahun 8 bulan.
Pasal 351 KUHP: Jika melakukan penganiayaan, aparat bisa dihukum pidana penjara hingga 5 tahun.
Pasal 338 KUHP: Jika terbukti melakukan pembunuhan, ancaman hukuman hingga 15 tahun penjara.
PP Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri: Memberikan sanksi internal mulai dari teguran, penundaan kenaikan pangkat, mutasi, hingga pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).
UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM: Polisi yang melanggar hak asasi manusia dapat diproses pidana maupun perdata sesuai mekanisme pengadilan HAM.
“Polisi tidak boleh kebal hukum. Jika melakukan pelanggaran, maka harus diproses pidana. Jangan hanya diberi sanksi disiplin lalu dipindahkan jabatan. Itu tidak menyelesaikan masalah,” tegas Amiruddin.
Menurutnya, reformasi Polri di era Prabowo harus benar-benar menyentuh akar persoalan: mulai dari mentalitas aparat, budaya korup, praktik bekingan, hingga ketidakberpihakan pada rakyat kecil.
“Kalau reformasi hanya sebatas kosmetik, rakyat akan semakin hilang kepercayaan. Polri harus kembali pada roh UUD 1945, yaitu polisi untuk rakyat, bukan untuk penguasa,” pungkas Amiruddin.
MGI /Redaksi.