top of page

Ketua DPP LSM Gempa Indonesia Soroti Mafia Peradilan: Polisi, Jaksa, Pengacara, dan Hakim Jangan Bermain Hukum

  • Gambar penulis: Ridwan Umar
    Ridwan Umar
  • 29 Agu
  • 2 menit membaca
ree

Ketua DPP LSM Gempa Indonesia Soroti Mafia Peradilan: Polisi, Jaksa, Pengacara, dan Hakim Jangan Bermain Hukum




Makassar – Ketua DPP LSM Gempa Indonesia, Amiruddin SH Karaeng Tinggi, menegaskan bahwa penegakan hukum di Indonesia tidak boleh keluar dari rel Undang -

Undang. Ia menyoroti adanya dugaan praktik kerja sama antara penyidik kepolisian, jaksa penuntut umum, pengacara, hingga hakim dalam menjatuhkan hukuman kepada seseorang, yang menurutnya masuk kategori mafia peradilan dan mafia hukum.



Menurut Amiruddin, tugas masing-masing aparat penegak hukum sudah jelas diatur:



1. Polisi sebagai Penyidik

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 KUHAP dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, tugas polisi adalah melakukan penyelidikan dan penyidikan. Polisi tidak berwenang menghukum seseorang.



2. Jaksa sebagai Penuntut Umum

Berdasarkan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (diubah dengan Undang - Undang Nomor. 11 Tahun 2021), tugas jaksa adalah melakukan penuntutan, bukan menghukum. Jaksa hanya bisa menuntut di persidangan, sedangkan keputusan tetap berada di tangan hakim.


BACA JUGA :


ree


ree


ree

3. Pengacara/Penasihat Hukum

Berdasarkan Pasal 54 KUHAP dan Undang Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, tugas pengacara adalah mendampingi serta membela hak-hak tersangka atau terdakwa. Namun, menurut Amiruddin, seorang advokat tidak boleh mati-matian membela klien hanya demi gengsi menang, sementara ia tahu bahwa kliennya memang bersalah.



4. Hakim

Berdasarkan Pasal 24 Undang -Undang Dasar 1945 dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim wajib menggali nilai keadilan, jujur, dan tidak memihak. Amiruddin menegaskan, hakim adalah “wakil Tuhan di dunia” dalam memutus perkara, sehingga kejujuran menjadi harga mati.



Amiruddin mengecam praktik “jual beli perkara” yang diduga masih sering terjadi. “Kalau penyidik polisi bekerja sama dengan jaksa hanya untuk mempermudah BAP agar cepat P.21, lalu pengacara berhubungan dengan jaksa supaya tuntutan diringankan, bahkan pengacara dan jaksa sama-sama melobi hakim agar vonis serendah mungkin, itu namanya peradilan sesat,” tegasnya.



Ia menambahkan, praktik aparat yang menawarkan harga tertentu agar tuntutan dikurangi atau vonis diringankan merupakan bentuk mafia hukum. “Kalau bayar sekian, tuntutan sekian. Kalau bayar hakim, vonis sekian. Ini yang saya sebut mafia peradilan, dan hal ini bukan lagi rahasia umum di negeri ini,” kata Karaeng Tinggi.



Lebih jauh, ia menegaskan bahwa jika penyidik, jaksa, pengacara, dan hakim arogan serta tidak jujur, maka mereka harus bertanggung jawab atas kesalahannya, baik secara etik, hukum, maupun moral.



“LSM Gempa Indonesia akan terus mengawasi praktik hukum di Indonesia. Kami ingin penegakan hukum yang benar-benar adil, bersih, dan berpihak pada rakyat, bukan hukum yang bisa diperjualbelikan,” tutupnya



( MGI / Rdj )


 
 
bottom of page