DPP LSM Gempa Indonesia Desak, Polres Jeneponto, Polres Gowa Tindak Tegas Tambang Ilegal di Sungai Kelara Kareloe, Pannyawakkang, Desa Taring,
- Ridwan Umar
- 6 jam yang lalu
- 2 menit membaca

DPP LSM Gempa Indonesia Desak, Polres Jeneponto, Polres Gowa Tindak Tegas Tambang Ilegal di Sungai Kelara Kareloe,
Pannyawakkang, Desa Taring,
Gowa, Jeneponto Sulawesi Selatan —
Dewan Pimpinan Pusat LSM Gempa Indonesia menyoroti aktivitas tambang ilegal di wilayah Pannyawakkang, Desa Taring, Kecamatan Biringbulu, Kabupaten Gowa, yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Jeneponto. Aktivitas penambangan batuan tersebut dilakukan menggunakan alat berat (excavator) di aliran Sungai Kelara i Kareloe, dan hasil galian batuan dibawa ke daerah Tolo, Kabupaten Jeneponto, untuk diolah menjadi material cipping menggunakan mesin pemecah batu.
Ketua DPP LSM Gempa Indonesia, Amiruddin SH Karaeng Tinggi, menegaskan bahwa aktivitas tambang ilegal ini bukan hanya merusak lingkungan, tetapi juga mengancam keselamatan masyarakat di wilayah hilir, khususnya Kabupaten Jeneponto.

“Penambangan liar di bantaran Sungai Kelara Kareloe ini sangat berbahaya. Bila dibiarkan, saat musim hujan tiba bisa terjadi banjir bandang yang lebih dahsyat, seperti peristiwa sebelumnya yang menelan korban jiwa, hewan ternak, dan merusak material milik warga. Korbannya nanti bukan hanya masyarakat Gowa, tapi juga warga Jeneponto — terutama di wilayah Belo Kallong,” tegas Amiruddin.
Menurutnya, kerusakan akibat tambang ilegal di wilayah sungai merupakan bentuk pelanggaran terhadap sejumlah peraturan perundang-undangan, antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), khususnya:
Pasal 158, yang menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin usaha pertambangan (IUP), izin usaha pertambangan khusus (IUPK), atau izin lainnya yang sah, dapat dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.
Pasal 161, yang menegaskan larangan bagi setiap pihak yang menampung, mengangkut, mengolah, atau menjual hasil tambang tanpa izin.
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), di mana pelaku perusakan lingkungan dapat dikenakan pidana penjara hingga 10 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar.
Amiruddin juga menegaskan bahwa aktivitas tambang di Sungai Kelara Kareloe ini merugikan negara, khususnya Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan Jeneberang, karena wilayah sungai tersebut berada di bawah pengawasan dan pengelolaan BBWS.
“Kerusakan di badan sungai akan berdampak langsung pada fungsi pengendalian banjir, sedimentasi, dan infrastruktur air yang menjadi kewenangan Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan Jeneberang. Karena itu, kami mendesak agar BBWS Pompengan Jeneberang, Dinas ESDM Provinsi Sulawesi Selatan, serta aparat penegak hukum segera turun tangan menindak tegas para pelaku tambang ilegal ini,” tambahnya.
DPP LSM Gempa Indonesia juga meminta Kapolres Jeneponto untuk bertindak cepat sebelum bencana kembali terjadi. Menurut Amiruddin, wilayah Jeneponto sudah berkali-kali menjadi korban banjir bandang akibat gundulnya hutan dan rusaknya ekosistem sungai yang disebabkan oleh aktivitas tambang liar di hulu.
“Kami tidak ingin menunggu ada korban lagi. Kapolres Jeneponto harus segera memproses hukum para penambang liar dan pihak yang membekingi aktivitas ini, karena korbannya nanti adalah masyarakat Jeneponto sendiri,” tegasnya.
Amiruddin menutup pernyataannya dengan menyerukan agar pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan instansi teknis tidak menutup mata terhadap kerusakan lingkungan yang semakin parah di daerah aliran Sungai Kelara Kareloe.
“Kalau tambang ilegal ini dibiarkan, bukan hanya alam yang rusak, tapi nyawa manusia yang akan jadi taruhan,” pungkasnya.
(MGI/ Red.)






















































