top of page

Divisi Hukum Lsm Gempa Indonesia Soroti Kasus Pemerkosaan, Penganiayaan, dan Tindakan Main Hakim Sendiri di Cikoro, Tompobulu

  • Gambar penulis: Ridwan Umar
    Ridwan Umar
  • 12 menit yang lalu
  • 3 menit membaca
ree

Divisi Hukum Lsm Gempa Indonesia Soroti  Kasus Pemerkosaan, Penganiayaan, dan  Tindakan Main  Hakim Sendiri di  Cikoro, Tompobulu



Gowa — Peristiwa memilukan kembali terjadi di Kabupaten Gowa. Seorang perempuan disabilitas bernama Tia binti Rajja (47), warga Dusun Lembangbu’ne, Kelurahan Cikoro, Kecamatan Tompobulu, menjadi korban pemerkosaan dan penganiayaan pada hari Minggu, 30 November 2025 sekitar pukul 06.00 WITA. Pelaku diduga adalah seorang lelaki bernama Ali.


Setelah kejadian, keluarga korban segera mengevakuasi Tia ke UGD RSUD Syekh Yusuf Gowa untuk mendapatkan perawatan medis. Di hari yang sama, keluarga melaporkan kejadian tersebut ke Mapolres Gowa, yang kemudian diterima dan ditangani oleh Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA).


Namun, berdasarkan hasil investigasi Tim Pencari Fakta DPP LSM Gempa Indonesia, muncul fakta mengejutkan. Hingga 3 Desember 2025, atau tiga hari setelah laporan dibuat, pihak Polres Gowa belum melakukan tindakan penangkapan atau pengamanan terhadap pelaku Ali. Situasi ini memicu kemarahan warga dan keluarga korban karena dianggap sebagai bentuk kelalaian dan pembiaran oleh aparat penegak hukum.


Kekecewaan yang memuncak mengakibatkan warga melakukan tindakan main hakim sendiri. Pelaku Ali ditangkap massa, diseret berkeliling kampung, bahkan yang paling tragis, alat vitalnya dipotong karena warga merasa aparat kepolisian tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Ali kemudian dilaporkan meninggal dunia secara tragis akibat aksi tersebut.


SOROTAN DIVISI HUKUM DPP LSM GEMPA INDONESIA


Devisi hukum DPP LSM Gempa Indonesia, Ahmad Ilham ,SH.MH, mengutuk keras dua sisi kejadian tersebut — tindakan kriminal pelaku terhadap korban, maupun tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat, yang menurutnya merupakan bentuk pelanggaran HAM berat.


Beliau menyatakan:


“Apapun bentuk kesalahan pelaku, masyarakat tidak boleh main hakim sendiri. Mengapa harus diseret, dipotong alat vitalnya, dan dipermalukan keliling kampung? Ini jelas tindakan yang melampaui batas hukum dan melanggar HAM. Dan mengapa aparat kepolisian tidak bertindak cepat padahal laporan sudah masuk sejak 30 November? Ini bentuk kealfaan yang tidak bisa dibiarkan.”


ASPEK HUKUM DAN PELANGGARAN


1. Kejahatan Pemerkosaan & Penganiayaan

Pelaku awal diduga melanggar:

Pasal 285 KUHP — Pemerkosaan

Pasal 351 KUHP — Penganiayaan

UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (proteksi khusus bagi korban disabilitas)


UU Penghapusan Kekerasan Seksual

Kejahatan terhadap perempuan disabilitas termasuk agravating factor yang memperberat ancaman hukuman.

2. Tindakan Main Hakim Sendiri (Vigilante) oleh Massa


Tindakan massa terhadap Ali termasuk pelanggaran berat:


Pasal 170 KUHP — Kekerasan bersama

Pasal 351 ayat (3) KUHP — Penganiayaan yang mengakibatkan kematian

Pasal 170 ayat (2) ke-3 — Kekerasan mengakibatkan mati

Pasal 355 KUHP — Penganiayaan berat dengan rencana.


UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM — Hak untuk hidup & larangan penyiksaan

Perbuatan memotong alat vital dan menyeret korban adalah torture (penyiksaan), yang termasuk Pelanggaran HAM Berat berdasarkan:


UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM

Pasal 9: Penyiksaan, perlakuan kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia.

3. Dugaan Kelalaian / Pembiaran oleh Aparat Kepolisian


Jika benar polisi tidak segera mengamankan pelaku setelah laporan diterima, maka hal ini dapat dikategorikan sebagai:


Kelalaian jabatan (Pasal 421 KUHP jo. Pasal 52 KUHP)

Melanggar Perkap No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri

Perkap No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana

Pelanggaran HAM oleh Aparat Negara


(UU 39/1999 Pasal 71–72: negara wajib mencegah pelanggaran HAM)

Tidak dilakukannya pengamanan terhadap terlapor, padahal laporan sudah masuk, dapat dipandang sebagai pembiaran yang berakibat fatal, yang menyebabkan Ali akhirnya tewas akibat aksi vigilante.


PERTANYAAN KRITIS DIVISI HUKUM DPP LSM GEMPA INDONESIA


1. Mengapa Polres Gowa tidak segera mengamankan pelaku sejak hari pertama laporan masuk?


2. Mengapa masyarakat bisa bertindak brutal hingga masuk kategori penyiksaan?


3. Apakah ini bukan pelanggaran HAM berat di wilayah hukum Polres Gowa?


4. Apakah kelalaian polisi tidak dapat dianggap sebagai bentuk pelanggaran hukum dan kode etik?

DIVISI HUKUM DPP Lsm Gempa Indonesia meminta:


Evaluasi total dan pemeriksaan internal Polres Gowa,

Penetapan tersangka terhadap pelaku kekerasan massa,

dan penanganan medis & rehabilitasi psikologis untuk korban pemerkosaan perempuan Tia binti Rajja.


KESIMPULAN


Kasus ini menunjukkan tiga tragedi sekaligus:

1. Kejahatan seksual terhadap perempuan disabilitas,

2. Kemarahan publik yang berubah menjadi penyiksaan dan pembunuhan,

3. Dugaan kelalaian aparat yang tidak cepat merespon laporan masyarakat.


Semua pihak harus diproses sesuai hukum agar keadilan bagi korban — baik korban kekerasan seksual maupun korban penganiayaan massa — dapat ditegakkan tanpa pandang bulu tutupnya.


MGI / Redaksi.

 
 
bottom of page