Bendungan Paselloreng Kabupaten Wajo Menyimpan Luka: Warga Mengaku Ganti Rugi Tidak Optimal, Diduga Banyak Langgar Aturan
- Ridwan Umar
- 27 Jul
- 3 menit membaca

Bendungan Paselloreng Kabupaten Wajo Menyimpan Luka: Warga Mengaku Ganti Rugi Tidak Optimal, Diduga Banyak Langgar Aturan
Wajo, Sulawesi Selatan — Proyek strategis nasional berupa pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo yang di resmikan langsung oleh bapak Presiden RI Joko Widodo pada tahun 2021 ternyata menyisakan luka mendalam bagi masyarakat terdampak, khususnya pemilik lahan yang mengaku tidak menerima ganti rugi secara optimal dari pelaksana proyek.
Sejumlah warga dari desa sekitar lokasi bendungan menyampaikan kekecewaannya. Mereka mengaku telah kehilangan lahan, kebun, bahkan rumah tempat tinggal yang telah diwariskan secara turun-temurun, namun ganti rugi yang mereka terima jauh di bawah harga yang sebenarnya Bahkan, ada pula yang hingga kini belum menerima kompensasi apa pun.

“Kami mendukung pembangunan bendungan, tapi bukan berarti hak kami diabaikan. Kami hanya ingin keadilan, bukan belas kasihan,” ujar seorang warga yang enggan disebut namanya.
Menurut informasi yang diterima, sejumlah tahapan penilaian oleh tim appraisal dan panitia pengadaan tanah tidak transparan dan menimbulkan kecurigaan. Dugaan semakin menguat saat muncul nama-nama penerima ganti rugi yang tidak memiliki alas hak yang jelas atas tanah yang digusur.

Dalam penentuan pembayaran ganti rugi beberapa warga terdampak juga angkat bicara yang menyayangkan bahwa pola pembayaran yang tidak memperlihatkan rincian pembayaran nya ini sangat merugikan karena hanya membayar dengan total pembayaran tampa menyebutkan berapa harga permeter yang sebenarnya dibayar kan
Warga terdampak menyebut, jika pelaksana proyek tidak segera menyelesaikan kewajiban ganti rugi yang adil, melalui Lembaga Pendamping Aliansi Rakyat Indonesia pihaknya akan menempuh jalur hukum, dan bersurat ke bapak Presiden RI, Kementerian terkait, Kapolri dan Jaksa Agung.
“Kami menduga ada pelanggaran terhadap beberapa ketentuan hukum, khususnya dalam proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum, serta ganti rugi yang tidak memberikan rincian harga permeter nya sangat merugikan kami masyarakat terdapak.” tegas Andi Rusdi salah satu tokoh masyarakat
Lebih lanjut Andi Rusdi menyampaikan di depan awak Media bahwa tanah perkuburan yang telah tenggelam sekitar seribuan lebih, awal nya disampaikan akan ada harga untuk 1 buah kuburan sebagai kompensasi pemindahan namun yang terjadi sampai sekarang tidak pernah ada kabar nya.
Salah satu warga terdampak ikut menyampaikan bahwa untuk ganti rugi dilahannya mendapat kan info dari kepala desa bahwa lahannya beserta isi kebun akan mendapatkan sekitar 11 milyar, namun yang terpasang di papan pengumuman desa terpajang hanya 3.651.860.000 dan lebih mengheran kan karena realisasi pembayaran hanya 3.070.000.000.

" Saya heran karena di infokan dari kepala desa saya mendapatkan 11 milyar dan yang terpajang di papan pengumuman desa hanya 3.651.860.000. Namun entah kenapa disunat lagi menjadi 3.070.000.000. Kemana lagi sisa 500 juta lebih itu." Ungkap H. Ambo Ala.
Dalam persoalan ini diduga pihak terkait Langgar UU Nomor 2 Tahun 2012 dan KUHP
Pelaksanaan proyek ini diduga melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, khususnya:
Pasal 9 ayat (2): Pengadaan tanah dilakukan dengan pemberian ganti kerugian yang layak dan adil.
Pasal 36 ayat (1): Pelaksanaan pembangunan tidak boleh dilakukan sebelum proses ganti rugi selesai secara tuntas.

Selain itu, jika terbukti ada pemalsuan dokumen, manipulasi data kepemilikan, atau adanya dugaan konspirasi dalam penetapan ganti rugi, maka bisa dijerat juga dengan pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), seperti:
Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat,
Pasal 378 KUHP tentang penipuan,
dan Pasal 415 KUHP tentang penggelapan dalam jabatan.
Melalui DPW Lembaga Aliansi Indonesia Sulsel memberikan beberapa tuntutan :
Warga terdampak mendesak pemerintah pusat dan aparat penegak hukum agar:
Melakukan audit ulang terhadap proses pengadaan lahan Bendungan Passelorang,
Memberikan ganti rugi sesuai nilai wajar dan transparan,
Mengusut dugaan pelanggaran hukum dalam proses pelaksanaan proyek tersebut.
“Kalau negara hadir hanya untuk merampas, bukan menyejahterakan, maka rakyat akan kehilangan kepercayaan,” ujar ketua DPW Sulsel Aliansi Indonesia Badan Penelitian Aset Negara.
Proyek Bendungan Passelorang sejatinya diharapkan menjadi solusi ketahanan air di wilayah Wajo dan sekitarnya. Namun, jika tidak disertai dengan keadilan sosial, pembangunan ini bisa menjadi simbol penderitaan dan ketidakadilan bagi masyarakat di tanah sendiri. Bersambung...
( Mgi/Tim )