LSM Gempa Indonesia Desak Proses Hukum Kepala Desa Ujung Bulu Akibat Banjir Bandang di Jeneponto
- Ridwan Umar
- 7 Jul
- 2 menit membaca

LSM Gempa Indonesia Desak Proses Hukum Kepala Desa Ujung Bulu Akibat Banjir Bandang di Jeneponto
Jeneponto, Sulawesi Selatan – Ketua DPP LSM Gempa Indonesia, Amiruddin SH Karaeng Tinggi, kembali bersuara lantang menyikapi bencana banjir bandang yang melanda Desa Ujung Bulu, Kecamatan Rumbia, Kabupaten Jeneponto. Banjir yang terjadi baru-baru ini diduga kuat merupakan dampak langsung dari penggundulan hutan di kawasan Gunung Bontolojong akibat aktivitas pembangunan dan pengembangan pariwisata yang dinilai tidak mengindahkan aspek lingkungan.
Amiruddin menegaskan bahwa sejak lama pihaknya telah mengkritik keras kegiatan wisata di Gunung Bontolojong yang dibuka secara liar oleh oknum pemerintah desa, termasuk Kepala Desa Ujung Bulu. Ia menyebut bahwa pembangunan tempat wisata di kawasan hutan lindung telah merusak vegetasi alami yang selama ini menjadi pelindung alami terhadap bencana hidrometeorologi seperti banjir dan longsor.
“Ini bukan sekadar bencana alam, ini adalah bencana akibat ulah manusia yang rakus. Kawasan Gunung Bontolojong adalah daerah tangkapan air yang tidak seharusnya dibabat untuk dijadikan objek wisata tanpa kajian lingkungan yang jelas dan izin resmi dari instansi terkait,” tegas Amiruddin.

Ketua DPP LSM Gempa Indonesia itu mendesak Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, Dinas Pariwisata, dan aparat penegak hukum untuk segera meninjau ulang seluruh perizinan kegiatan wisata di kawasan tersebut dan memproses secara hukum Kepala Desa Ujung Bulu yang diduga menjadi aktor utama pembabatan hutan secara ilegal.
Amiruddin juga menegaskan bahwa tindakan membuka kawasan hutan untuk kepentingan pribadi atau komersial melanggar berbagai ketentuan hukum, di antaranya:
Dasar Hukum yang Dilanggar:
1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya:
Pasal 50 ayat (3) huruf a dan c: Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan kerusakan hutan, seperti penebangan pohon tanpa izin dan perusakan kawasan hutan.
Pasal 78 ayat (2): Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp5 miliar.
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup:
Pasal 36 ayat (1): Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki Amdal atau UKL-UPL harus mendapatkan izin lingkungan.
Pasal 109: Pelaku usaha yang menjalankan kegiatan tanpa izin lingkungan dapat dipidana maksimal 3 tahun dan denda hingga Rp3 miliar.
3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa:
Pasal 29 huruf d dan e: Kepala Desa wajib menjalankan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan bertanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Pelanggaran terhadap UU Desa ini dapat dikenai sanksi administratif hingga pemberhentian tetap.
Amiruddin menekankan bahwa tidak ada kompromi dalam urusan keselamatan rakyat.

“Kepala desa yang bertindak seenaknya membuka hutan untuk wisata, tanpa memikirkan dampaknya bagi lingkungan dan warga di bawahnya, harus bertanggung jawab secara hukum dan moral,” katanya.
Ia juga menyerukan kepada Gubernur Sulawesi Selatan dan Bupati Jeneponto agar tidak menutup mata terhadap perusakan alam yang menyebabkan penderitaan rakyat.
“Jangan sampai rakyat yang tidak tahu-menahu menjadi korban, sementara para pelaku perusakan hutan berlindung di balik jabatan,” pungkasnya.
LSM Gempa Indonesia menyatakan akan terus mengawal proses ini dan siap melaporkan kasus ini ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI serta Komisi IV DPR RI bila tidak ada tindakan konkret dari pemerintah daerah.
Untuk informasi dan klarifikasi lebih lanjut, hubungi:DPP LSM GEMPA INDONESIAKetua: Amiruddin SH Karaeng Tinggi
( Mgi/Ridwan U. )






















































