top of page

Tindakan Bimmas Desa Rappolemba Diduga Langgar Aturan Dan Bimmas Diduga Diperalat Oleh Kepala Dusun Lembaya.

  • Gambar penulis: Ridwan Umar
    Ridwan Umar
  • 4 Okt
  • 2 menit membaca

Diperbarui: 5 Okt

ree

Tindakan Bimmas Desa Rappolemba Diduga Langgar Aturan Dan Bimmas Diduga Diperalat Oleh Kepala Dusun Lembaya.



Gowa – Ketua DPP LSM Gempa Indonesia, Amiruddin SH Karaeng Tinggi, mengecam keras tindakan oknum Bimmas Desa Rappolemba, Kecamatan Tompobulu Kabupaten Gowa yang bersama Kepala Dusun Lembaya pada Sabtu dini hari, 4 Oktober 2025, datang melarang keluarga lelaki Kamasin bin Lepu untuk menggarap tanah kebun warisan yang telah dikuasai dan digarapnya sejak tahun 1988 hingga sekarang.


Sebelumnya, Kepala Dusun Lembaya telah mengancam Kamasin dan keluarganya dengan mengatakan:


“Kalau kamu menggarap kebun ini maka saya panggil polisi untuk menangkap kamu.”Ucapnya


Ancaman itu terbukti ketika Kamasin dan keluarganya sedang membersihkan kebun, tiba-tiba polisi berseragam datang bersama Kepala Dusun Lembaya untuk menghentikan aktivitas mereka.


DPP LSM Gempa Indonesia Sudah Layangkan Surat Aduan


Ketua DPP LSM Gempa Indonesia menegaskan bahwa pihaknya sudah melayangkan surat laporan/pengaduan resmi kepada Camat Tompobulu dan Kapolsek Tompobulu pada 30 September 2025 terkait dugaan intimidasi dan ancaman terhadap Kamasin bin Lepu dan keluarganya.


“Kami menduga Bimmas Desa Rappolemba belum mengetahui bahwa persoalan ini sudah kami laporkan secara resmi. Karena itu, tindakan oknum Bimmas yang datang melarang Kamasin menggarap tanah kebun jelas merupakan pelanggaran hukum dan pelanggaran kode etik profesi kepolisian,” tegas Amiruddin.


Hak Penggarap Dilindungi Hukum


Amiruddin menjelaskan, berdasarkan hukum perdata, pihak yang terakhir menguasai atau menggarap tanah (bezitter terakhir) berhak tetap menguasai sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht).


“Tidak ada seorang pun, termasuk Kepala Dusun dan aparat kepolisian, yang bisa melarang Kamasin menggarap tanah kebun yang telah ia kuasai selama 37 tahun, kecuali jika sudah ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya,” jelasnya.


Jika memang Sampe bin Sarido dan Sudi bin Meru merasa memiliki hak atas tanah tersebut, maka seharusnya mereka mengajukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Gowa. Namun yang terjadi, keduanya justru menjual tanah itu kepada ipar Kepala Dusun Lembaya dengan hanya bermodalkan kwitansi, dan diduga kuat penjualan itu didukung oleh Kepala Dusun.


Dugaan Pelanggaran Hukum dan Kode Etik Polisi


Menurut Amiruddin, tindakan menjual tanah yang bukan haknya dapat dijerat dengan Pasal 385 KUHP tentang penyerobotan tanah dan Pasal 378 KUHP tentang penipuan. Sementara keterlibatan aparat desa dan dugaan keberpihakan oknum Bimmas dapat dikategorikan sebagai pelanggaran kode etik profesi Polri, sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri.


“Oknum Bimmas yang datang ke kebun Kamasin dan melarang penggarapan tanah berarti telah bertindak di luar kewenangan, sekaligus menunjukkan keberpihakan. Polisi seharusnya netral dan bertugas melindungi masyarakat, bukan menjadi beking dalam konflik tanah,” ujar Amiruddin.


Desakan ke Kapolres Gowa


Ketua DPP LSM Gempa Indonesia meminta Kapolres Gowa untuk segera menindak oknum Bimmas Desa Rappolemba yang diduga telah diperalat oleh Kepala Dusun Lembaya.


“Kami mendesak Kapolres Gowa agar menindak tegas oknum anggotanya. Jika dibiarkan, ini akan menjadi preseden buruk di mana aparat kepolisian turun tangan dalam urusan sengketa tanah dengan cara berpihak dan menakut-nakuti rakyat kecil,” tegas Amiruddin.


DPP LSM Gempa Indonesia juga menegaskan akan terus mendampingi Kamasin bin Lepu dan keluarganya, serta siap membawa kasus ini ke ranah hukum agar para pihak yang terlibat, termasuk penjual tanah, pembeli, Kepala Dusun, dan oknum aparat kepolisian, dapat diproses sesuai peraturan perundang-undangan tutupnya.


(MGI / Red.)

 
 
bottom of page