top of page

Dugaan Korban Eksekusi Tanah Eks Pasar Tala-Tala: Ketua DPP LSM Gempa Indonesia Soroti Kejanggalan Putusan Pengadilan Negeri Takalar

  • Gambar penulis: Ridwan Umar
    Ridwan Umar
  • 14 Jul
  • 3 menit membaca
ree

Dugaan Korban Eksekusi Tanah Eks Pasar Tala-Tala: Ketua DPP LSM Gempa Indonesia Soroti Kejanggalan Putusan Pengadilan Negeri Takalar



Takalar, 10 Juli 2025 — Pelaksanaan eksekusi lahan bekas Pasar Tala-Tala yang terletak di Dusun Tala-Tala, Desa Bontoloe, Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar, kembali memicu polemik hukum. Eksekusi tersebut dilakukan oleh Pengadilan Negeri Takalar pada Kamis, 10 Juli 2025, berdasarkan putusan perkara Nomor 06/Pdt.G/2015/PN.TKa atas gugatan perdata yang diajukan oleh DR. H. Burhanuddin Baharuddin, SE., M.Si. terhadap delapan orang tergugat, termasuk Ramli Dg. Rurung.



ree

Namun, ironisnya, lima orang yang terdampak langsung dalam eksekusi tersebut — yakni H. Risal (pemilik empat unit ruko), Halisa, Sunarto, Musdalifah, dan Ansar — tidak pernah menjadi pihak tergugat dalam perkara hukum dimaksud. Mereka telah menempati dan memanfaatkan tanah tersebut jauh sebelum gugatan perdata dilayangkan tahun 2015. Bahkan, H. Risal membangun rukonya secara sah pada tahun 2024 berdasarkan akta jual beli dari ahli waris Yahadang Bin Majju yang dibuat di hadapan notaris.



ree

Merasa menjadi korban dari pelaksanaan eksekusi yang tidak menyasar pihak sebenarnya, para ahli waris dan lima korban tersebut menemui Ketua DPP LSM Gempa Indonesia, Amiruddin SH Karaeng Tinggi, di salah satu warkop di Sungguminasa. Mereka meminta pendampingan dan perlindungan hukum.


BACA JUGA. :


ree


ree


ree


Menurut Amiruddin, penggugat dalam perkara ini berdalil bahwa tanah eks Pasar Tala-Tala merupakan aset Pemerintah Daerah Kabupaten Takalar dengan luas sekitar 1.200 meter persegi. Namun, menurut data yang dimiliki ahli waris, tanah tersebut justru masih tercatat atas nama Yahadang Bin Majju dan tidak pernah diganti rugi oleh Pemda Takalar.



“Para tergugat saat itu tidak memahami proses hukum, mereka tidak punya pendidikan tinggi, tidak mampu membayar pengacara, sementara penggugat adalah pejabat yang punya akses dan kuasa. Ini pertarungan yang tidak seimbang,” ujar Amiruddin.



Lebih parah lagi, lanjut Amiruddin, tergugat bahkan tidak pernah melihat atau memegang salinan putusan tingkat banding maupun Mahkamah Agung. Pada saat eksekusi berlangsung, mereka meminta putusan MA, namun aparat kepolisian yang mengamankan pelaksanaan eksekusi justru menyatakan bahwa putusan tersebut adalah ‘rahasia negara’. Hal ini memicu pertanyaan besar tentang transparansi dan akuntabilitas proses hukum.



Menurut informasi yang diperoleh dari ahli waris, mereka memiliki sejumlah dokumen pendukung yang menunjukkan kepemilikan sah atas tanah tersebut, di antaranya:



1. Surat Keterangan Kepala Desa Bontoloe No./DBL/IX/2018 yang menguatkan eksistensi tanah milik atas nama Yahadang Bin Majju sesuai CI Kohir 554 Persil 194 a DII.



2. Surat DPRD Takalar Nomor 155/12/DPRD/II/2014, yang secara eksplisit menyebutkan bahwa tanah eks Pasar Tala-Tala tidak terdaftar sebagai aset sah Pemda Takalar dan menyarankan agar persoalan tanah diselesaikan secara kekeluargaan.



3. PBB dan catatan riwayat tanah (IPEDA) atas nama Yahadang Bin Majju.



4. Tanda Pendaftaran Sementara Tanah Milik Indonesia tahun 1959 atas nama Yahadang Bin Majju.



Amiruddin SH Karaeng Tinggi menyebutkan bahwa putusan Pengadilan Negeri Takalar dalam perkara ini sarat kejanggalan dan diduga mengandung unsur konspirasi antara penggugat yang memiliki latar belakang kekuasaan dan pihak aparat pengadilan.



“Ini adalah preseden buruk bagi keadilan. Ketika orang kecil yang punya bukti nyata tidak didengar, sementara penggugat tidak memiliki alat bukti sah, namun malah dimenangkan. Putusan seperti ini tidak hanya merugikan secara materiil, tapi juga menghancurkan kepercayaan rakyat terhadap sistem hukum,” tegasnya.



BACA JUGA. :


ree


Ia menambahkan bahwa pihak ahli waris dan korban eksekusi akan segera menempuh jalur hukum untuk mengajukan gugatan balik dan tuntutan ganti rugi. Mereka juga berencana melaporkan dugaan pelanggaran hak asasi manusia serta pelanggaran prinsip-prinsip keadilan dalam proses hukum tersebut.



“LSM Gempa Indonesia akan terus mengawal kasus ini. Kami menilai putusan perdata ini bukan hanya cacat logika hukum, tetapi juga menciderai prinsip keadilan dan bertentangan dengan norma hukum Mahkamah Agung dan SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) yang berlaku,” pungkas Amiruddin.



Kasus ini menjadi refleksi penting bahwa hukum seharusnya menjadi alat keadilan, bukan alat kekuasaan. Pihak-pihak terkait, termasuk Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung, diharapkan menelusuri kembali proses hukum perkara ini dan mengevaluasi integritas lembaga peradilan di daerah tutupnya.



( MGI/RDJ )


 
 
bottom of page