Amnesti dan Abolisi Menuai Pro-Kontra, Praktisi Hukum dan Ketua LSM Gempa Indonesia Angkat Bicara
- Ridwan Umar
- 1 Agu
- 2 menit membaca

Amnesti dan Abolisi Menuai Pro-Kontra, Praktisi Hukum dan Ketua LSM Gempa Indonesia Angkat Bicara
Jakarta, 1 Agustus 2025 — Keputusan DPR RI yang menyetujui usulan Presiden terkait pemberian abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong serta amnesti kepada Hasto Kristiyanto, mantan pejabat partai yang telah divonis bersalah dalam perkara tindak pidana korupsi, menuai respons dari berbagai pihak, termasuk praktisi hukum dan elemen masyarakat sipil.
Nasaruddin Pasigai, seorang praktisi hukum terkemuka di Sulawesi Selatan menjelaskan bahwa amnesti dan abolisi adalah dua bentuk pengampunan yang berbeda dalam sistem hukum Indonesia. Amnesti merupakan pengampunan terhadap seluruh akibat hukum dari suatu perkara pidana yang telah diputus secara inkrah oleh pengadilan, sedangkan abolisi adalah penghentian proses hukum terhadap suatu perkara sebelum memasuki tahap penuntutan atau sidang di pengadilan.
“Biasanya, kedua jenis pengampunan ini diberikan dalam perkara yang bersifat politis atau memiliki dampak terhadap stabilitas nasional,” ujar . Nasaruddin Pasigai “Namun, ketika digunakan dalam konteks kasus korupsi, tentu harus dilakukan dengan perhitungan yang sangat cermat, karena menyangkut integritas hukum dan kepercayaan publik terhadap negara,” tegasnya.
BACA JUGA :





Sementara itu, Ketua Dewan Pimpinan Pusat LSM Gempa Indonesia, Amiruddin Karaeng Tinggi, juga menyoroti kebijakan ini. Ia mempertanyakan relevansi pemberian amnesti kepada individu yang telah divonis bersalah dalam perkara korupsi.
“Pertanyaannya adalah: apakah karakter kasus korupsi pantas dan layak mendapatkan pengampunan negara melalui amnesti atau abolisi?”
Kata Amiruddin "langkah ini menjadi preseden buruk , bukankah bisa merusak semangat pemberantasan korupsi yang selama ini kita perjuangkan?”
Menurutnya, sekalipun Presiden memiliki hak prerogatif dalam memberikan amnesti dan abolisi sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan KUHAP, tetap diperlukan pertimbangan objektif berdasarkan prinsip keadilan, bukan kepentingan politik semata.
Nasaruddin Pasigai menambahkan, "Dalam konteks ini, kita tidak bisa semata-mata berpegangan pada kekuasaan konstitusional Presiden. Latar belakang pemberian pengampunan, aturan hukum yang berlaku, dan dampaknya terhadap supremasi hukum harus menjadi bagian integral dalam setiap keputusan."
Potensi Preseden dan Dampak Politik
Pemberian amnesti terhadap Hasto Kristiyanto yang telah divonis bersalah dalam kasus korupsi menimbulkan kekhawatiran di kalangan aktivis antikorupsi. Mereka menilai bahwa langkah ini bisa dijadikan celah oleh aktor-aktor politik lain yang juga tersandung kasus hukum, untuk berlindung di balik mekanisme pengampunan negara.
Dari sisi Istana, pengampunan ini diklaim sebagai langkah rekonsiliasi nasional pasca Pemilu 2024 dan bagian dari strategi untuk menciptakan stabilitas politik. Namun, publik menuntut agar rekonsiliasi tidak mengorbankan prinsip keadilan dan akuntabilitas.
Penutup
Perdebatan soal amnesti dan abolisi ini menjadi ujian serius bagi arah penegakan hukum di Indonesia. Di satu sisi, negara ingin meredam konflik politik dan menjaga stabilitas nasional; di sisi lain, ada tuntutan agar prinsip keadilan dan pemberantasan korupsi tidak dikompromikan.
Pertanyaannya kini: Apakah langkah Presiden akan menjadi strategi rekonsiliasi atau justru menjadi preseden yang melemahkan supremasi hukum dan semangat antikorupsi bangsa ini?
Publik menanti, dan sejarah akan mencatat tutupnya.
(MGI / Red)