Polisi dan Jaksa Tak Boleh Menghukum, Hakim Adalah Wakil Tuhan di Dunia, Jangan Jadikan BAP dan P21 Sebagai Alat Pemaksaan Hukum
- Ridwan Umar
- 2 hari yang lalu
- 2 menit membaca

Hakim Adalah Wakil Tuhan di Dunia – Jangan Jadikan BAP dan P21 Sebagai Alat Pemaksaan Hukum
Makassar, 16 Juni 2025 — Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) LSM Gempa Indonesia, Amiruddin SH Karaeng Tinggi, memberikan edukasi terbuka kepada publik mengenai penerapan hukum dan batas kewenangan aparat penegak hukum di Indonesia. Ia menegaskan bahwa dalam sistem hukum yang adil dan beradab, tidak boleh ada aparat yang bertindak sebagai algojo sebelum pengadilan menyatakan seseorang bersalah secara sah dan meyakinkan.
“Polisi dan jaksa bukanlah lembaga yang berwenang menghukum seseorang. Hanya hakim yang menjadi pengganti Tuhan di dunia ini dalam memutuskan salah dan benarnya seseorang melalui proses pengadilan yang objektif dan adil,” tegas Amiruddin dalam konferensi pers di Makassar, Senin (16/6).
Namun, dalam praktiknya, LSM Gempa Indonesia sering menemukan indikasi kerjasama sistematis antara penyidik kepolisian dan jaksa penuntut umum untuk memaksakan perkara ke pengadilan, bahkan dalam kasus-kasus yang bukti materil dan formilnya lemah.
“Ada banyak kasus yang kami temukan, di mana berkas perkara dinyatakan lengkap atau P21 oleh jaksa, padahal penyidikan dilakukan tanpa memenuhi unsur objektivitas. Kolaborasi antara penyidik dan jaksa dalam memaksakan perkara seperti itu adalah bentuk penyalahgunaan kewenangan dan persekongkolan institusional,” jelas Amiruddin.
BACA DAN KLIK JUGA. :


Landasan Konstitusional: Hanya Hakim yang Berwenang Menghukum
Menurut Amiruddin, penegakan hukum harus berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang membatasi peran penyidik (Polri), penuntut (Kejaksaan), dan pemutus (Hakim) secara tegas:
Pasal 1 angka 2 dan 3 KUHAP menyebutkan bahwa penyidik dan penuntut umum hanya berperan dalam proses menuju peradilan.
Pasal 182 hingga Pasal 197 KUHAP menjelaskan bahwa hanya hakim yang memutus perkara pidana melalui persidangan.
Pelanggaran HAM dan Konsekuensi Hukum
Amiruddin juga menekankan bahwa aparat penegak hukum yang bertindak di luar kewenangannya, termasuk memaksakan seseorang menjadi terdakwa hanya berdasarkan kepentingan atau tekanan tertentu, melanggar prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dan konstitusi negara.
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa penahanan atau penghukuman tanpa dasar hukum yang sah adalah pelanggaran HAM.
Pasal 421 KUHP: Pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan untuk memaksa atau merugikan seseorang dalam proses hukum, dapat dikenakan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan.
Tak hanya itu, Amiruddin mengingatkan bahwa majelis hakim pun tidak luput dari pengawasan, karena jika hakim menjatuhkan vonis tanpa mempertimbangkan fakta hukum secara objektif, itu adalah pelanggaran konstitusi dan HAM.
Hakim yang melanggar kode etik dapat diperiksa dan dijatuhi sanksi oleh Komisi Yudisial, berdasarkan UU No. 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial.
Teguran Keras dari LSM Gempa Indonesia
Ketua DPP LSM Gempa Indonesia menutup pernyataannya dengan mengingatkan seluruh institusi penegak hukum agar tidak menyulut krisis kepercayaan publik dengan praktik-praktik penegakan hukum yang tidak adil dan manipulatif.
“Kami tegaskan, negara hukum bukan negara kekuasaan. Bila polisi dan jaksa menghukum di luar peradilan, itu pelanggaran konstitusi. Bila hakim menghukum orang yang tidak bersalah, itu adalah bentuk kekejaman hukum yang melanggar hak paling dasar manusia,” tegas Amiruddin.
DPP LSM Gempa Indonesia berkomitmen untuk terus mengawal proses hukum yang adil, berpihak pada kebenaran, dan bebas dari intervensi kepentingan kekuasaan. Masyarakat pun diminta tidak takut melaporkan praktik penegakan hukum yang menyimpang, sebab kontrol publik adalah fondasi utama demokrasi dan keadilan.
( Mgi/Ridwan U)