top of page
  • Gambar penulisRedaksi Media Gempa

Ahmad Hafidz,SH Direktur LBH Gelora :Pemecatan Anwar Usman Tidak Sah

MEDIAGEMPAINDONESIA.COM, JAKARTA - Ramai diskusi di berbagai group sosmed terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah batas usia capres/cawapres boleh dibawah usia 40 tahun dengan syarat pernah atau sedang menjadi kepala daerah tidak hanya menjadi perbincangan dikalangan masyarakat awam hukum, juga terjadi perbicangan hangat dikalangan praktisi hukum yang penulis ikuti.


Putusan MK yang dipimpin oleh Anwar Usman selaku ketua MK dianggap terjadi penyimpangan karena adanya _conflic of interest._ karena akibat putusan tersebut dianggap memuluskan langkah Gibran Rakabuming Raka maju sebagai cawapres dampingi Prabowo subianto.


Melihat posisi latar belakang pemohon dan kuasa hukum pemohon _Judicial Review_ tidak ada hubungan kekerabatan, atau bisnis dengan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Diputusnya permohonan yang diajukan oleh Mahasiswa Universitas Surakarta Almas Tsaqibbirru dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Dalam putusan tersebut, Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan yang menguji Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).


“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan, 'berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun' bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’,” yang diucapkan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman membacakan putusan pada Senin (16/10/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.


Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, Mahkamah berpendapat pengisian jabatan publik _in casu_ Presiden dan Wakil Presiden perlu melibatkan partisipasi dari calon-calon yang berkualitas dan berpengalaman. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan dan pengawasan kebijakan nasional, terdapat jabatan publik yang syarat usia pencalonannya 40 tahun (Presiden dan Wakil Presiden) dan di bawah 40 (empat puluh) tahun yang sama-sama dipilih melalui pemilu seperti jabatan Gubernur (30 tahun), Bupati, dan Walikota (25 tahun), serta anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD (21 tahun).


Perlu dipahami putusan MK sudah final dan binding. Adapun masyarakat yang tidak puas dengan putusan tersebut harus menunggu pemerintah mengubah Undang-undang Nomor 7 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum Menjadi Undang, dan mengajukan _Judicial review_ guna mengubah putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dimaksud.


Disini Penulis tidak ingin masuk pada putusan MK tersebut, tetapi lebih menyorot pada posisi Prof. Jimly Assiddiqie selaku ketua MKMK.


Perlu diketahui kedudukan Prof Jimly saat ini sebagai Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI aktif. Merujuk pada UU MD3 pasal 302 angka 1 huruf (a) dan (b). mengatakan Anggota DPD dilarang rangkap jabatan sebagai:

a. Pejabat negara lainnya;

b. Hakim dalam badan peradilan;


Bahwa doktrin pemisahan kekuasaan (separation of powers), kekuasaan

kehakiman yang merdeka merupakan bagian dari upaya untuk menjamin

kebebasan dan mencegah kesewenang-wenangan. Dengan kata lain,kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah maupun legislatif, sebagai upaya untuk menjamin dan melindungi kebebasan rakyat dari kemungkinan tindakan sewenang-wenangan


Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 13 Tahun 1993 tentang Larangan Perangkapan Jabatan Hakim Agung dan Hakim. Karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum dan peradilan sehingga diubah Pemerintah dengan menerbitkan PP 36 tahun 2011 tentang Jabatan yang Tidak Boleh dirangkap oleh Hakim Agung dan Hakim. Juga sebagai upaya melaksanakan ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dua kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Kedua PP ini dengan tegas menyatakan bahwa Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Hakim Agung dan Hakim yaitu:


1. Pejabat Negara lainnya;


"Pejabat Negara lainnya", antara lain, sebagai Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota DPR, DPD, MPR, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), menteri/setingkat menteri, gubernur, dan bupati/walikota.


Dalam pertimbangan putusan nomor 32/PUU-XII/2014 Mahkamah menyatakan dibentuknya hakim ad hoc pada dasarnya karena adanya faktor kebutuhan akan keahlian dan efektivitas pemeriksaan perkara di Pengadilan yang bersifat khusus. Pengangkatan hakim ad hoc dilakukan melalui serangkaian proses seleksi yang tidak sama dengan proses rekruitmen dan pengangkatan hakim sebagai pejabat Negara.


Adanya pengecualian hakim ad hoc sebagai pejabat negara, sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 122 huruf e UU ASN, menurut Mahkamah, tidak bertentangan dengan konstitusi. Sebab, sifat, pola rekruitmen, tidak adanya pembatasan usia berakhir masa tugasnya bagi hakim ad hoc berbeda dengan hakim karier. Selain itu, hakim ad hoc memiliki ruang lingkup tugas dan kewenangan yang bersifat terbatas dan sementara.


Sehingga menjadi persoalan ketika adanya aturan UU nomor 13 tahun 2019 tentang MD3 yang secara tegas melarang dalam hal ini anggota DPD selaku *Pejabat Negara* merangkap menjadi Hakim ad hoc. Penulis menilai Prof Jimly sendiri telah melanggar UU nomor 13 tahun 2019 tentang MD3 dengan merangkap jabatan sebagai Hakim MKMK. Sehingga putusan MKMK terkait pemecatan Anwar Usman sebagai Ketua MK dapat dinilai cacat hukum.


(Mgi/Ridwan Umar

34 tampilan0 komentar
bottom of page